Pengikut

Selasa, 11 April 2017

PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT



MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGA NEGARAAN
PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT
Dosen pembimbing: Aizun Najih, S.Psi

 


Disusun oleh:
Muhammad Dzul Hilmy (4116061)
Nur Inayatul Wafiya (4116085)
FAKULTAS TEKNIK
PRODI S1 SISTEM INFORMASI
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ULUM JOMBANG
2016

KATA PENGANTAR
            Alhamdulillah terucapkan dari lisan seorang hamba yang dho’if untuk mensyukuri segala macam nikmat yang telah Allah SWT berikan kepada kita, berbagai macam nikmat yang tiada kesanggupan bagi kita untuk menghitungnya, namun yang harus kita syukuri lebih awal ialah nikmat islam dan iman serta hidayahNya, dan tak lupa pula kita senantiasa menghaturkan Sholawat serta salam untuk seseorang yang sangat mulia diantara kita bahkan Allah SWT-pun sangat memuliakan dan bersholawat kepadanya, yakni baginda Rasulallah SAW. Karena jasa beliau lah yang telah mengeluarkan kita dari zaman yang penuh dengan kebodohan menuju zaman yang penuh dengan kemajuan ini.
            Dan sungguh tiada manusia yang sempurna di muka bumi ini kecuali Rasulallah SAW, dan kami menyadari dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena itu kami mengharapkan keritik dan saran yang bersifatnya membangun, khususnya dari dosen mata kuliah guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi kami untuk lebih baik di masa yang akan datang.










BAB 1
PENDAHULUAN

Dalam wacana ilmu pengetahuan, banyak orang memandang bahwa filsafat adalah merupakan bidang ilmu yang rumit, kompleks dan sulit dipahami secara definitif. Selama manusia hidup sebenarnya tidak seorang pun dapat terhindar dari kegiatan berfilsafat, dengan kata lain perkataan setiap orang dalam hidupnya senantiasa berfilsafat, sedangkan berdasarkan pernyataan tersebut maka sebenarnya filsafat itu sangat mudah dipahami. Jikalau orang berpendapat bahwa dalam hidup ini materi lah yang esensial dan mutlak, maka orang tersebut berfilsafat materialisme. Jikalau seseorang berpandangan kebenaran pengetahuan itu sumbernya rasio maka orang tersebut telah berfilsafat rasionalisme, demikian juga jikalau seseorang berpandangan bahwa didalam hidup ini yang terpenting adalah kenikmatan, kesenangan dan kepuasan lahiriah. Maka paham ini disebut paham hedonisme, demikian juga jikalau seseorang berpandangan bahwa dalam hidup masyarakat maupun negara yang terpenting adalah kebebasan individu, maka orang tersebut berpandangan individualisme, liberalisme.









BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN FILSAFAT
Secara etimologis istilah “filsafat” berasal dari bahasa Yunani “philein” yang artinya “cinta” dan “sophos” yang artinya “hikmah” atau “kebijaksanaan” atau “wisdom” (Nasution. 1973). Jadi secara hafirah istilah “filsafat” mengandung makna Cinta Kebijaksanaan. Dan nampaknya hal ini sesuai dengan sejarah timbulnya ilmu pengetahuan, yang sebelumnya dibawah naungan filsafat. Namun demikian jika kita membahas pengertian filsafat dalam hubungannya dengan lingkup bahasannya maka mencakup banyak bidang bahasa antara lain tantang manusia, alam, pengetahuan, etika, logika, dan lain sebagainya.
Keseluruhan arti filsafat yang meliputi berbagai masalah tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua macam sebagai berikut:
Pertama : Filsafat sebagai produk yang mencakup pengertian.
1.      Filsafat sebagai jenis pengetahuan, ilmu, konsep, pemikiran – pemikiran dari para filsuf pada zaman dahulu yang lazimnya merupakan sesuatu aliran atau sistem filsafat tertentu. Misalnya rasionalisme, materialisme, pragmatisme, dan lain sebagainya.
2.      Filsafat sebagai suatu jenis problema yang dihadapi oleh manusia sebagai hasil dari aktivitas berfilsafat. Jadi manusia mencari suatu kebenaran yang timbul dari persoalan  yang bersumber pada akal manusia.
Kedua : Filsafat sebagai suatu proses yang dalam hal ini filsafat diartikan dalam bentuk suatu aktivitas berfilsafat. Dalam proses pemecahan suatu permasalahan dengan menggunakan suatu cara dan metode tertentu yang sesuai dengan objeknya. Dalam pengertian filsafat merupakan suatu pengetahuan yang bersifat dinamis.
Adapun cabang – cabang filsafat yang pokok adalah sebagai berikut :
1.      Metafisiks, yang membahas tentang hal – hal yang bereksistensi dibalik fisis yang meliputi bidang – bidang, ontologi, kosmologi, dan antropologi.
2.      Epistemologi, yang berkaitan dengan persoalan hakikat pengetahuan.
3.      Metodelogi, yang berkaitan dengan persoalan hakikat metode dalam ilmu pengetahuan.
4.      Logika, yang berkaitan dengan pesoalan filsafat berfikir, yaitu rumus – rumus dan dalil – dalil berfikir yang benar.
5.      Etika, yang berkaitan dengan persoalan moralitas dan tingkah laku manusia.
6.      Estetika, yang berkaitan dengan persoalan hakikat keindahan

B.     KESATUAN SILA – SILA PANCASILA SEBAGAI SUATU SISTEM FILSAFAT
Kesatuan sila – sila pancasila pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan kesatuan yang bersifat formal logis saja namun juga meliputi kesatuan dasar ontologis, serta dasar aksiologis dari sila – sila pancasila. Secara filosofis Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat yang memiliki, dasar ontologis, dasar epistomologis, dan dasar aksiologis sendiri yang berbeda dengan sistem filsafat yang lainnya, misalnya materialisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme, idealisme, dan lain – lain faham filsafat di dunia.
1.      Dasar Ontologis Sila – Sila Pancasila
Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat tidak hanya kesatuan yang menyangkut sila – silanya saja melainkan juga meliputi hakikat dasar dari sila – sila Pancasila atau secara filosofis merupakan dasar ontologis sila – sila Pancasila. Dasar ontologis pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang memiliki hakikat mutlak monopluralis, oleh karena itu hakikat dasar juga disebut sebagai dasar antropologis sila – sila Pancasila.
Hubungan kesatuan antara negara dengan landasan sila – sila Pancasila adalah berupa hubungan sebab – akibat yaitu negara sebagai pendukung hubungan dan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebagai pokok pangkal hubungan. Landasan sila – sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil adalah sebagai sebab, adapun negara adalah sebagai akibat.
2.      Dasar Epistemologis Sila – Sila Pancasila
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem pengetahuan. Sebagai suatu sistem ideologi maka, Pancasila memiliki tiga unsur pokok agar dapat menarik loyalitas dari pendukungnya yaitu:
a.       Logos, yaitu rasionalitas atau penalarannya.
b.      Pathos, yaitu penghayatannya.
c.       Ethos, yaitu kesusilaanya (Wibisono, 1996:3). Sebagai suatu sistem filsafat serta ideologi maka Pancasila harus memiliki unsur rasional, terutama dalam kedudukannya sebagai suatu sistem pengetahuan.
Terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi, yaitu: Pertama tentang sumber pengetahuan manusia, kedua tentang teori kebenaran pengetahuan manusia, ketiga tentang watak pengetahuan manusia (Titus, 1984:20).
Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana dipahami bersama bahwa sumber pengetahuan Pancasila adalah nilai – nilai yang ada pada bangsa indonesia itu sendiri, bukan berasal dari bangsa lain, bukan hanya merupakan perenungan serta pemikiran seseorang atau beberapa orang saja, namun dirumuskan oleh wakil – wakil bangsa indonesia dalam mendirikan negara. Dengan lain perkataan bahwa, bangsa indonesia adalah sebagai penguasa materialis Pancasila.
Berikutnya tentang susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Sebagai suatu sistem pengetahuan maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila – sila Pancasila mau pun isi arti sila – sila Pancasila. Susunan isi arti Pancasila meliputi tiga hal yaitu: Pertama, isi arti Pancasila yang umum universal yaitu hakikat sila – sila Pancasila. Isi arti sila – sila Pancasila yang umum universal ini merupakan inti sari atau esensi Pancasila sehingga merupakan pangkal tolak derivasi baik dalam pelaksanaan pada bidang – bidang kenegaraan dan tertib hukum indonesia serta dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan kongrit. Kedua, isi arti Pancasila yang umum kolektif, yaitu isi arti Pancasila sebagai pedoman kolektif negara dan bangsa Indonesia terutama dalam tertib hukum Indonesia. Ketiga, isi arti Pancasila yang bersifat khusus dan konkret yaitu isi arti Pancasila dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan sehingga memiliki sifat yang khusus konkret serta dinamis (lihat Notonagoro, 1975:36,40).
Pembahasan berikutnya adalah pandangan Pancasila tentang pengetahuan manusia. Sebagai mana dijelaskan di awal, bahwa masalah epistemologi Pancasila diletakkan dalam kerangka bangunan filsafat manusia. Maka konsepsi dasar ontologis sila – sila Pancasila yaitu hakikat manusia monopluralis merupakan dasar pijak epistemologi Pancasila. Menurut Pancasila bahwa hakikat manusia adalah monopluralis yaitu hakikat manusia yang memiliki unsur – unsur pokok yaitu susunan kodrat yang terdiri atas raga (jasmani) dan jiwa (rohani). Tingkatan hakikat raga manusia adalah unsur – unsur: fisis anorganis, vegetativ, dan animal.
3.      Dasar Aksiologis Sila – Sila Pancasila
Sila – sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat juga memiliki satu kesatuan dasar aksiologisnya, yaitu nilai – nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Terdapat berbagai macam teori tentang nilai dan hal ini sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandangnya masing – masing dalam menentukan tentang pengertian nilai yang tertinggi adalah nilai material. Pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai apa saja yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut dengan manusia.
Sejalan dengan pandangan tersebut, Notonagoro merinci nilai disamping bertingkat juga berdasarkan jenisnya, ada yang bersifat material dan nonmaterial. Dalam hubungan ini manusia memiliki orientasi nilai yang berbeda, tergantung pada pandangan hidup dan filsafat hidup masing – masing. Ada sekelompok orang mendasarkan pada orientasi nilai material, namun ada pula yang sebaliknya yaitu, berorientasi pada nilai nonmaterial.

a.      Teori Nilai
Sebagaimana dijelaskan di awal, Max Scheler mengemukakan bahwa nilai – nilai yang ada, tidak sama luhurnya  dan sama tingginya. Nilai – nilai itu secara nyata ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai – nilai lainnya. Menurut tinggi rendahnya, nilai – nilai dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan sebagai berikut:
1.      Nilai – nilai kenikmatan: Dalam tingkat ini terdapat deretan nilai – nilai yang mengenakkan dan tidak mengenakkan (Die Wertreihe des Angnehmen und Unangehmen), yang menyebabkan orang senang atau menderita tidak enak.
2.      Nilai – nilai kehidupan: Dalam tingkat ini terdapatlah nilai – nilai penting bagi kehidupan (Werte des Vitalen Fuhlens) misalnya kesehatan.
3.      Nilai – nilai kejiwaan:  Dalam tingkat ini terdapat nilai – nilai kejiwaan (geistige werte)  yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan.
4.      Nilai – nilai kerohanian: Dalam tingkatan ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci dan tak suci (Wermodalitas des Heiligen und Unheiligen).
Walter G. Everelt menggolong – golongkan nilai – nilai manusiawi kedalam delapan kelompok yaitu sebagai berikut:
1.      Nilai ekonomis, (ditujukan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat dibeli).
2.      Nilai kejasmanian, (membantu pada kesehatan, efisiensi dan keindahan dari kehidupan badan).
3.      Nilai hiburan, (nilai – nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyumbangkan pada pengayaan kehidupan).
4.      Nilai sosial, (berasal muladari berbagai macam bentuk perserikatan manusia).
5.      Nilai watak, (keseluruah dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan).
6.      Nilai estetis, (nilai – nilai keindahan dalam alam dan karya seni).
7.      Nilai intelektual, (nilai – nilai pengetahuan dan pengajaran kebenaran).
8.      Nilai – nilai keagamaan.
Sedangkan Notonagoro membagi nilai menjadi tiga yaitu:
1.      Nilai meterial, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.
2.      Nilai vital, adalah segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.
3.      Nilai kerohanian, adalah segala sesuatu yang berguna bagi rohani.
Nilai kerohanian ini dapat dibedakan atas empat macam.
a.       Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia.
b.      Nilai keindahan atau estetis, yang besumber pada unsur perasaan (aesthetis, gevoel, rasa) manusia.
c.       Nilai kebaikan atau moral, yang bersumber pada unsur kehendak (will, wollen, karsa) manusia.
d.      Nilai religius, yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia.
Masih banyak lagi cara pengelompokan nilai – nilai.
b.      Nilai – Nilai Pancasila sebagai Suatu Sistem
Isi arti sila – sila pada hakikatnya dapat dibedakan atas, hakikat pancasila yang umum universal, yang merupakan substansi sila – sila Pancasila, sebagai pedoman pelaksanaan dan penyelenggaraan negara yaitu sebagai dasar negara yang brsifat umum atau kolektif serta aktualisasi Pancasila yang bersifat khusus dan konkret dalam berbagai bidang kehidupan. Hakitat sila – sila Pancasila (substansi Pancasila) merupakan nilai – nila, sebagai pedoman negara adalah norma, adapun aktualisasinya merupakan realisasi konkret Pancasila.
Nilai – nilai Pancasila yang tergantung dalam sila I sampai dengan sila V, Pancasila merupakan cita – cita, harapaan, dan dambaan bangsa Indonesia yang akan diwujudkan dalam kehidupannya. Sejak dahulu kala nilai – nilai itu selalu didambakan, dicita – cita bangsa Indonesia agar terwujud dalam masyarakat yang tata tentrem, karta raharja, gemah ripah loh jinawi, dengan penuh harapan diupayakan terealisasi dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia Indonesia.
Nilai – nilai yang terkandung dalam Pancasila itu mempunyai tingkatan dan bobot yang berbeda, namun nilai – nilai itu tidak saling bertentangan. Akan tetapi nilai – nilai itu saling melengkapi, hal ini disebabkan sebagai suatu substansi, Pancasila itu merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, atau kesatuan organik (organik whole).
Suatu hal yang diberikan penekanan lebih dahulu yakni meskipun nilai – nilai yang terkandung dalam Pancasila itu mempunyai tingkatan dan bobot nilai yang berbeda, yang berarti ada “keharusan” untuk menghormati nilai yang lebih tinggi, nilai – nilai yang berbeda tingkatan dan bobot nilainya itu tidak saling berlawanan atau bertentangan, melainkan saling melengkapi.

C.    PANCASILA SEBAGAI NILAI DASAR FUNDAMENTAL BAGI BANGSA DAN NEGARA RI

1.      Dasar Filosofis
Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu nilai – nilai yang bersifat sistematis. Oleh karena itu, sebagai suatu dasar filsafat maka sila – sila Pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat, hierarkhis dan sistematis. Dalam pengertian inilah sila – sila Pancasila merupakan suatu sistem filsafat, karena merupakan suatu sistem filsafat maka kelima sila bukan terpisah – pisah dan memiliki makna sendiri – sendiri, melainkan memiliki esensi makna yang utuh.
Dalam hubungannya dengan pengertian nilai diatas, Pancasila tergolong nilai kerohanian, tetapi nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai material dan nilai vital karena, pada hakikatnya menurut pancasila bahwa negara adalah perpaduan jasmani dan rohani. Selain itu, Pancasila yang merupakan nilai – nilai kerohanian itu di dalamnya terkandung nilai – nilai lainnya secara lengkap dan harmonis, baik nilai material, vital, kebenaran (kenyataan), estetis, etis maupun nilai religius.
Selain itu secara kausalitas bahwa nilai – nilai Pancasila adalah bersifat subjektif, artinya esensi nilai – nilai Pancasila adalah bersifat universal, yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan, sehingga dimungikinkan dapat diterapkan pada negara lain, walaupun barangkali namanya bukan Pancasila. Artinya jika suatu negara menggunakan prinsip filosofi bahwa negara Berketuhanan, Berpersatuan, Berkemanusiaan, Berpersatuan, Berkerakyatan dan Berkeadilan, maka negara tersebut pada hakikatnya menggunakan dasar filsafat dari sila – sila Pancasila.
Nilai – nilai Pancasila bersifat objektif dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.       Rumusan dari sila – sila Pancasila itu sendiri sebenarnya hakikat maknanya yang terdalam menunjukkan adanya sifat – sifat yang umum universal dan abstrak, karena merupakan suatu nilai.
b.      Inti nilai – nilai Pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam kehidupan bangsa Indonesia dan mungkin juga pada bangsa lain, baik dalam adat kebiasaan, kebudayaan, kenegaraan maupun dalam kehidupan keagamaan.
c.       Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, menurut ilmu hukum memenuhi syarat sebagai pokok kaidah yang fundamental negara sehingga merupakan suatu sumber hukum positif di Indonesia.
Sebaliknya nilai – nilai subjektif Pancasila dapat diartikan bahwa keberadaan nilia – nilai Pancasila bergantung atau terlekat pada bangsa Indonesia sendiri. Pengertian itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.       Nilai – nilai Pancasila timbul dari bangsa Indonesia sehingga bangsa Indonesia sebagai kuasa materialis. Nilai – nilai tersebut sebagai hasil pemikiran, penilaian kritis, serta hasil refleksi folosofis bangsa Indonesia.
b.      Nilai – nilai Pancasila merupakan filsafat (pandangan hidup) bangsa Indonesia sehingga merupakan jati diri bangsa, yang diyakini sebagai sumber nilai atas kebenaran, kebaikan, keadilan, dan kebijaksanaan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c.       Nilai – nilai Pancasila di dalamnya terkandung ketujuh nilai – nilai kerohanian yaitu nilai kebenaran, keadilan, kebaikan, kebijaksanaan etis, estetis dan nilai religius yang menifestasinya sesuai dengan budi nurani bangsa Indonesia karena bersumber pada kepribadian bangsa (lihat Darmodiharjo, 1996).

2.      Nilai – Nilai Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara
Nilai – nilai Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu sumber dari hukum dasar dalam negara Indonesia. Sebagai sumber dari suatu hukum dasar, secara objektif merupakan suatu pandangan hidup, kesadaran, cita – cita huku, secara cita – cita moral yang luhur dan  yang meliputi suasana kejiwaan, serta watak bangsa Indonesia, yang pada tanggal 8 Agustustus 1945 telah ditetapkan dan di abstraksikan oleh para pendiri negara menjadi lima sila dan ditetapkan secara yuridis formal menjadi dasar filsafat negara Republik Indonesia. Hal ini sebagaimana ditetapkan dalam Ketetapan No. XX/MPRS/1966.
Nilai – nilai Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 secara yuridis memiliki kedudukan sebagai Pokok Kaidah Negara yang Fundamental. Pokok pikiran pertama menyatakan baghwa negara Indonesia  adalan negara persatuan, yaitu negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mengatasi segala paham golongan maupun persoalan. Hal ini merupakan penjabaran sila ke tiga.
Pokok pikiran kedua menyatakan bahwa, negara hendak mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam hal ini negara berkewajiban mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh warga negara. Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pokok pikiran ini sebagai penjabaran sila ke lima.
Pokok pikiran ketiga menyatakan bahwa, negara berkedaulatan rakyat. berdasarkan atas kerakyatan dan dan permusyawaratan / perwakilan. Hal ini menunjukkan bahwa negara indonesia adalah negara demokrasi yaitu kedaulata di tangan rakat. Hal ini sebagai penjabar sila ke empat.
Pokok pikiran keempat bahwa, negara berdasarkan atas ketuhanan yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradap.hal ini mengandung arti bahwa negara Indonesia menjunjung tinggi ke beradapan semua agama dalam pergaulan hidup negara.halini merupakan penjabaran siala pertama dan ke dua.

D.    PANCASILA SEBAGAI IDIOLOGI BANGSA DAN NEGARA INDONESIA
Istilah ideologi berasal dari kata “idea” yang berarti “gagasan, konsep, pengertian dasar, cita – cita” dan  “logos” yang berarti “ilmu”. Kata “idea” berasal dari kata Yunani “eiios” yang artinya “bentuk”. Dan disamping itu, ada kata “idein” yang artinya “melihat”. Maka secara harfiah, ideologi berarti ilmu pengertian – pengertian dasar. Dalam pengertian dasar sehari – hari, “idea” disamakan artinya dengan “cita – cita”. Sebagai suatu ideologi bangsa dan negara Indonesia maka Pancasila diangkat dari nilai – nilai adat istiadat, nilai – nilai kebudayaan serta nilai – nilai religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk negara, perkataan unsur yang merupakan unsur materi Pancasila tidak lain diangkat dari pandangan hidum masyarakat Indonesia sendiri, sehingga bangsa ini merupakan kausa materealis asal bahan (Pancasila).




BAB III
KESIMPULAN
           
            Secara istilah filsafat mengandung makna Cinta Kebijaksanaan. Hal ini tampaknya sesuai dengan sejarah timbulnya ilmu pengetahuan, yang sebelumnya dibawah naungan filsafat. Jadi manusia dalam kehidupan pasti memilih pandangan hidup yang dianggap paling benar, paling baik, dan membawa kesejahteraan dalam kehidupannya, dan pilihan manusia sebagai suatu pandangan dalam hidupnya itulah itulah yang disebut filsafat. Pilihan manusia atau bangsa dalam menentukan tujuan hidupnya ini dalam rangka untuk mencapai kebahagiaan dalam kehidupannya.
            Pancasila yang terdiri atas bagian – bagian yaitu sila – sila Pancasila, setiap sila pada hakikatnya merupakan suatu asas sendiri, fungsi sendiri – sendiri untuk tujuan tertentu, yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Isi sila – sila Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Dasar filsafat negara Indonesia terdiri atas lima sila yang masing – masing merupakan suatu asas peradaban. Namun demikian, sila – sila Pancasila itu merupakan suatu unsur (bagian yang mutlak) dari kesatuan Pancasila. Maka dasar filsafat negara Pancasila merupakan suatu kesatuan yang bersifat majmuk tunggal (majmuk artinya jamak) (tunggal artinya satu). Konsekuensinya setiap sila tidak dapat berdiri sendiri terpisah dari sila yang lainnya.



DAFTAR PUSTAKA

Darmodiharjo, Darji. 1978. Pokok – pokok Filsafat Hukum. Jakarta. PT. Gramedia.
Kaelan. 2002. Filsafat Pancasila Pandangan Hidup Bangsa. Yogyakarta: Paradigma.
Notonagoro. 1974. Pancasila Dasar Filsafah Negara. Jakarta. Pantjuran Tudjuh Cetakan ke-4.
Mahendra Yusril Ihza. 1992. Ideologi dan Negara, dalam Gazali (ed), Yusril Ihza Mahendra Tokoh Intelektual Muda. Jakarta: Rajawali.
Kaelan, 1983, Proses Perumusan Pancasila dan UUD 1945, Liberty, Yogyakarta

Tidak ada komentar: